Almarhum KH Nurhasan
Al Ubaidah adalah pendiri Pondok Pesantren LDII, Banjaran, Burengan, Kediri,
seorang ulama besar yang selama 11 tahun belajar ilmu agama di Makkah dan
Madinah. Lahir di Desa bangi Kediri Jawa Timur (1908).
Beliau menguasai
Al-Qur’an dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. Beliau menguasai Qiroah Sab’ah (7 macam
Bacaan Al-Quran), yaitu bacaan Nafi’ Al Madani, Ibnu Katsir Al Makki, Abu Amr
Al Bashri, Ibnu Amir As Syami, Ashim Al Kufi, Hamzah Al Kufi, dan Ali Al
Kisa’i. Masing-masing guru tersebut memiliki dua murid yang sangat terkenal,
sehingga bacaannya diistilahkan 21 bacaan.
Beliau juga menguasai
49 kitab-kitab hadits lengkap dengan ilmu alatnya. Diantara guru-guru beliau
adalah: Imam Abu Samah (Muhammad Abdul Dhohir ibn Muhammad Nuruddin Abu Samah
At-Talini Al-Mishri Al-Makki), Syekh Umar Hamdan (Abu Hafs Umar ibn Hamdan ibn
Umar ibn Hamdan al-Mahrasi At-Tunisi Al-Maghribi al-Madani Al-Maki
rahimahullah), Syekh Yusuf, dan lain-lain.
Kisah Kehidupan KH. Nurhasan Al-Ubaidah :
1929 : Berangkat haji pertama,
mengganti nama menjadi Haji Nurhasan Al Ubaidah
1933 :
• Belajar hadits Bukhari dan Muslim kepada Syeikh Abu Umar Hamdan dari Maroko
• Belajar di Madrasah Darul Hadits dekat Masjidil Haram
Info lain :
• Berangkat ke Mekah tahun 1937/1938
• Tiba di Mekah, disaksikan oleh H. Khoiri Ketua Rukbat Nahsyabandi (asrama
pemukim di Saudi Arabia)
1941 :
• Kembali ke Indonesia, membuka pengajian di Kediri
• Menikah dengan Al Suntikah Binti H. Ali dari Mojoduwur Jombang.
Banyak yang tidak mengetahui secara benar
siapa sebenarnya syeikh Nurhasan Al-Ubaidah bin Abdul Aziz serta belum
mengerti maksud dan tujuan dakwah tauhid-nya termasuk banyak fakta tak
terungkap yang tersembunyi kebenarannya, sehingga beliau mendapat hujatan dan
fitnahan dari orang-orang yang tidak senang kepada beliau. Bahkan ada
orang-orang ilmu agamanya masih sedikit berani menghujat beliau,
padahal info yang dimilikinya tentang H. Nurhasan dan metode dakwah
beliau, sangatlah minim info.
Sebagai contoh banyak yang tidak mengetahui
bahwa beliau menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang keras, tegas, bahkan
terkesan menyakitkan hati, padahal itu hanya bagian metode dakwah, mengingat
saat itu awalnya ajakan dengan cara persuasif, lemah lembut (untuk menetapi
agama Islam secara Quran Hadits dan tidak mengamalkan bidah, khurofat, tahayul,
dll serta ajakan bersatunya umat Islam) namun tidak digubris,
akhirnya ibarat menyelamatkan orang yang akan celaka tertabrak kereta api, ya
harus ditarik keras. Bayangkan kalau ada yang mau tertabrak kereta kemudian
mengingatkannya dengan pelan-pelan,
Akhirnya beliau syeikh Nurhasan Al-Ubaidah
menerapkan metode “babat alas” (periode 1950-1960), ibarat membuka hutan untuk
dijadikan perumahan, yaa tentunya semak-semak, alang-alang, pohon melintang
yang menghalangi jalan, dsb harus dibabat dulu khan? Setelah itu, baru proses
penataan, dan selanjutnya pelestarian. Nah, saat beliau menerapkan
metode dakwah “babat alas” inilah banyak orang yang sakit hati tidak menyadari
sedang diselamatkan “dari tertabrak kereta tadi” dan bukan malah bersyukur
sudah diingatkan. Akhirnya mereka membuat fitnah dan hujatan-hujatan. Dan,
perlu khalayak ramai ketahui bahwa metode babat alas sudah ditinggalkan sejak
tahun 1960. Bahkan pada tahun 1970 beliau mengajak bersatu kepada umat Islam
Indonesia berupa selebaran yang dikirim ke seluruh penjuru Jawa mulai tingkat
kecamatan s/d menteri sehingga membuat gempar di masyarakat.
Fakta lain, beliau bukanlah orang yang menang berbantah-bantahan dalil dan merasa pol sendiri, tentunya ini demi
kerukunan sesama muslim dan menghormati keyakinan masing-masing. Ini cerita
dari Cak Thohir, “saat pak Nurhasan diberitahu oleh H. Arifin dan Pak Husein
bahwa para kyai dan ulama yang pinter-pinter sudah berkumpul ingin berdebat
dengan pak haji (H. Nurhasan), kita sudah ditunggu disana!”. H. Nurhasan yang
biasa dipanggil “abah”
Dalam sejarah perkembangan
Islam di Indonesia kita mengenal beberapa aliran islam mainstream dan
non-mainstream. Meski sudah sejak era Wali Songo islam mulai tersohor di bumi
nusantara, namun ternyata kekuatan gerak islamiyah lebih menyolok di era pasca
kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini ditandai oleh munculnya beberapa
harokah islamiyah garis keras, yang menginginkan syariat islam ditegakkan di
Indonesia dan menolak mentah-mentah hukum positif warisan Belanda. Pergerakan
ini tidak dilakukan oleh 2 (dua) aliran islam mainsteam yang ada, melainkan
oleh kelompok-kelompok islam radikal semisal DI/TII, NII, dan kelompok Warman. Di
bumi nusantara bagian timur terkenal dipimpin oleh Kahar Muzakkar, dan di barat
dipimpin oleh SM. Kartosoewiryo.
Singkat cerita, pada
pertengahan era orde baru, ketegangan demi ketegangan memuncak, dimana
friksi-friksi yang terjadi antara pemerintah kala itu dengan beberapa kelompok
islam radikal ini akhirnya menyebabkan hampir seluruh organisasi berbasis islam
di indonesia otomatis dianggap oposan pemerintah. Walhasil, kelompok-kelompok
islam kecil lah yang banyak menerima imbas buruknya dari pertikaian gerakan-gerakan
islam dengan pihak otoritas pada waktu itu dibanding kelompok-kelompok islam
yang telah memiliki nama besar. Diantara kelompok-kelompok dakwah islam yang
masih kecil pada waktu itu adalah Darul Hadits dengan beberapa kembangannya
semisal YCI (Yayasan Citra Islam), KSPI (Keluarga Studi Pemuda Islam), KADIM
(Karyawan Dakwah Islam), dan ASPI (Aspirasi Pemuda Islam). Darul Hadits sendiri
merupakan suatu kelompok pengajian Qur’an-Hadits yang dipimpin oleh seorang
ulama muda lulusan ma’had Darul Hadits di Mekkah Al-Mukarramah, Nurhasan
Al-Ubaidah bin Abdul ‘Aziiz (1908-1982). Konon kelompok pengajian ini sangat
peduli terhadap tauhid, akhlak, akidah, dan pemurnian tata laksana peribadatan
ummat islam kala itu yang masih banyak dianggap menyimpang dari sumbernya:
Qur’an dan Hadits (as-Sunnah). Ditinjau dari sisi manapun, melalui perjalanan
panjang sejarah tandzim dakwah islamiyah ini, Darul Hadits eksis bertujuan
untuk membetulkan seluruh sendi pengamalan ibadah rakyat Indonesia yang masih
banyak menyimpang dari Qur’an dan Hadits, tanpa perlu melakukan konfrontasi
dengan pihak otoritas, orde lama, maupun orde baru. Tidak seperti tudingan
orang-orang yang tidak mengerti sejarah esensi perjuangan amar ma’ruf nahi
munkar-nya, mereka menuding bahwa Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah rahimahullah ingin
mendirikan ‘negara dalam negara’. Tapi sampai hari wafatnya, hal tesebut bahkan
sama sekali tidak terbukti.
Masih teringat dari
beberapa saksi sejarah perjalanan era “babat alas” semisal Al-Hafidz Syeikh
Su’udi Ridwan rahimahullah, maupun Syeikhul Hadits Kasmudi As-Shiddiqqy
bercerita bahwa seringkali Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah menerima banyak
‘bingkisan’ dari orang-orang, bahkan ulama-ulama tradisional yg tidak sepaham
dengannya berupa teluh, santet, dan benda-benda ‘terbang’ aneh lainnya yang
tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia modern. Semua itu Beliau hadapi
dengan sabar, tawakkal, serta yang paling penting adalah doa. Tentang doa
kepada Allah Ta’ala, dari penuturan Syeikh Nur Asnawi rahimahullah, salah satu
rekan menuntut ilmunya di Mekkah-Medinah dulu, menceritakan bahwa syeikh sangat
yakin akan doanya kepada Allah Ta’ala. Pernah suatu ketika di Mekkah, ada
seorang temannya kelaparan tidak punya beras (makanan) untuk dimasak, akhirnya
Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah berdoa agar Allah Ta’ala memberikan beras yang bisa
untuk dimasak saat itu juga. Walhasil, doanya maqbul. Allah Ta’ala mengabulkan
permintaannya!. Bagi kita yang awam memang agak sulit menerima cerita-cerita
‘tidak masuk akal’ semacam ini. Namun kenyataannya memang demikian, apalagi
cerita ini diperoleh dari saksi hidup kala itu, Syeikh Nur Asnawi rahimahullah.
Bahkan salah satu santrinya yang saat ini telah menjadi salah satu ulama di
Pondok Pesantren Kertosono, Ustadz Ubaid Khairi, pernah punya pengalaman
spiritual yang sama seperti Syeikh Nurhasan Al-Ubaidah, yakni langsung
dikabulkan doanya semasa ia dan keluarga sedang menghadapi kesulitan ekonomi.
“Setelah bermunajat di dalam bis kota yang mangantar saya dan anak istri pulang
ke rumah. Allah langsung memberi saya uang tunai. Bahkan saya dan keluarga bisa
mempergunakan uang itu untuk keperluan sehari-hari selama kurang lebih 2 (dua)
bulan…”, tuturnya tatkala ia didapuk (bahasa Jawa: dinobatkan) sebagai salah
satu penyampai materi pada camping Cinta Alam Indonesia di Cikole, Bandung,
beberapa tahun silam. Cerita yang sama, di zaman yang berbeda. Believe it or
not.
semoga menjadi tauladan bagi umat dibelakangnya...untuk terus sesalu memurnikan ajaran Quran hadist
BalasHapusAaamiin, semoga bermanfaat
HapusMelihat perjuangannya dlm memperjuangkan kemurnian QH, beliau bisa disejajarkan dg rosuulloh Muhammad SAW, beliau sbg tonggak perjuangan islam (QH) di Indonesia.
BalasHapusinnalillahi wainnailaihi rojiun
HapusAlkhamDulillah jazza HummuLLohu Khoiro,Beliau KH Nurhasan Al Ubaidah wasilah hidayah di Indonesia
BalasHapusSaya sebagai generasi milenial merasa sangat terinspirasi oleh kisah2 beliau baik yang saya dapatkan secara langsung dari pelaku2 sejarah maupun yang saya dapat dari sumber media sosial yang kredibel
BalasHapusAlhamdulillah, luar biasa.. Mungkin bisa dibantu scara detail dan terperinci, 49 kitab hadist tersebut apa saja, karena sampai saat ini belum dapat menemukan history yang gamblang tentang 49 kitab tersebut apa saja.. Alhamdulillah jaza kallohu khoiron.
BalasHapusSemoga jamaah trus berkembang ila Yaumil kiyamah
BalasHapusAlhamdulillah kita punya guru yang hebat
BalasHapusPenipuan itu
BalasHapusSudah jelas matinya di hinakan
BalasHapusSangat menyesatkan . Hanya penjual nasi liwet dan mengaku sebagai imam masjidil haram
BalasHapusMasyallah,QHJ jaya ilayaumil qiyamah,amiiin
BalasHapusAjaran sesat kok dipuja
BalasHapusPosting Komentar